UAS AKHLAK TASAWUF


 
TUGAS MANDIRI MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF
Jurusan/Prodi              : Pendidikan Fisika
Dosen Pengampu        : Drs. Soeparyo, M.Ag
Nama                           : Khotijah
NIM                            : 1403066061


1.    Tulislah Hadits tentang al Muflis. Siapakah al Muflis. Jelaskan makna dan kandungannya, serta jelaskan keterkaitannya dengan akhlak tasawuf.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ


Artinya: “Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah
SAW berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim IV/1997 no 2581)
Hadits di atas derajadnya shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad (2 : 334, No. 8395), Muslim (4 : 1997, No. 2581), Tirmidzi (4 : 613, No. 2418), Thabrani dalam Al-Ausath ( 3 : 156, No. 2778) dan Dailami (2 : 60, No. 2338). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

PENJELASAN :

Dalam Syarhu as-Sunani Abi Daud oleh Abdul Muhsin al-Ibad (6 : 500), dapat kita baca penjelasan hadits di atas sebagai berikut: “Para sahabat memahami al-muflis sebagai kebangkrutan duniawi, sedangkan maksud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebangkrutan ukhrawi. Maka jawab beliau : ‘al-muflis (bangkrut) ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa (sebanyak-banyak) pahala shalat, zakat, puasa dan haji; tetapi (sementara itu) datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini. Maka di berikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (orang-orang yang pernah di dzalimi, dipukul, di fitnah), lalu dosa-dosa itu ditimpakan kepadanya. Kemudian dia dicampakkan ke dalam api neraka’.
Berkata Al-Hasan Al-Bashri, كَفَّارَةُ الْغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ “Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi.” (Lihat Majmu’ fatawa XVIII/189).
Keterkaitannya dengan akhlak tasawuf yaitu didalam akhlak tasawuf kita mempelajari akhlak supaya kita menjadi orang yang kaya (hati), menjaga hubungan baik dengan Allah dan makhluknya serta menjaga sikap dan perbuatan sehingga tidak menjadi orang yang bangkrut (hati) di akhirat.

2.      Jelaskan dampak kehidupan modern, bagaimanakah peran akhlak tasawuf.
Problematika Masyarakat Modern
Revolusi teknologi dapat meningkatkan control manusia pada materi, ruang dan waktu, menimbulkan evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir, dan system rujukan. Dan kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan problematika masyarakat modern sebagai berikut:
    1. Desintegrasi ilmu pengetahuan; Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang mengalami masalah kemudian pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, ekonom psikolog dan lain-lain, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda sehingga dapat membingungkan manusia.
    2. Kepribadian yang terpecah; Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak itu, maka manusia menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur oleh rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya hal ini dapat menghilangkan nilai rohaniah, jika keilmuan yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama maka proses kehancuran manusia akan terus berjalan.
    3. Penyalahgunaan Iptek; Sebagai akibat dari lepasnya ilmu pengetahuan dan tekologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk penjajahan satu bangsa. Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Sehingga semua itu dapat terlihat akan rusaknya moral umat dan lain sebagainya.
    4. Pendangkalan Iman; Sebagai akibat dari pola fikir keilmuan diatas, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang diberikan oleh wahyu kadang hanya menjadi bahan tertawaan karena tidak ilmiah.
    5. Pola hubungan materialistic; Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong yang didasarkan akan panggilan iman sudah tidak nampak lagi. Pola hubungan satu sama lain hanya dilihat dari sejauh mana seseorang memberikan manfaat secara material terhadap lainnya. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, nurani, hati, kemanusiaan dan keimanannya.
    6. Menghalalkan segala cara; Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistic sebagaimana yang disebutkan diatas, maka manusia mudah menggunakan prinsip menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika ini terus berlanjut akan terjadi kerusakan akhlak dalam berbagai bidang kehidupan.
    7. Stres dan Frustasi sehingga dapat kehilangan harga diri dan masa depannya; Kehidupan modern yang kompetitif seperti ini mengakibatkan manusia terus bekerja dan bergerak tanpa mengenal batas dan kepuasaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah ada rasa syukur yang muncul dari hati manusia. Ketika mengalami kegagalan tekadang mereka stress dan frustasi sehingga mereka tidak dapat berfikir dengan jernih akibat dari jauhnya kehidupan mereka dari nilai-nilai spiritual. Maka dari itu pengambialn keputusan yang salah pada kondisi ini sering terjadi. Tak sedikit orang terjerumus kedalam hal yang negative dimana dapat menghilangkan harga diri mereka dan masa depan kelak.
Relefansi Tasawuf Dalam Kehidupan Modern
Banyak cara yang dianjurkan para ahli untuk mengatasi masalah, salah satu cara yang dianjurkan para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah modern adalah Husein Nasrh, menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat tempat dikalangan masyaraka, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dimana sufisme yang dapat menjawab persoalan mereka.
Mengapa sufisme perlu dimasyarakatkan pada mereka? Jawabannya terdapat 3 tujuan. Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat dari hilangnya nilai-nilai spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur atau pemahaman tentang aspek esoteric (batin) islam, baik terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap masyarakat barat. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali bahwasannya sesungguhnya aspek esoteric islam, yakni sufisme, adalah jantung dari ajaran islam, sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam. Dalam hal ini Nasrh menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang biasanya dikenal sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia menjadi jiwa dan risalah islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi jauh dari pandangan luar.
Intisari ajaran tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Upaya ini dilakukan antara lain dengan melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat sementara. Orang yang telah sampai pada tujuan tersebut akan selamat dari jeratan duniawi. Ketika telah sampai pada tahap ma’rifat yakni tahap tempat antara hamba dengan Tuhan-Nya tidak ada tabir yang menutup, sementara hati sang hamba telah dipenuhi dengan cinta bukan rasa takut kepada Tuhan.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan itu. Karena melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah baying-bayang atau fotocopy Tuhan. Dengan demikian antara satu ilmu dengan yang lain akan mengarah pada Tuhan.
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Demikian pula tarikat yang terdapat pada tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Keadaan demikian menyebabkan ia tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan dimana stress, putus asa, dan lainnya akan dapat dihindari.
Sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila dapat diatasi dengan sifat ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputuasan Tuhan. Ia menyadari bahwa yang Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Sikap demikian itu diperlukan untuk mengatasi frustasi.
Kemudian sikap materialistic yang merajalela dalam kehidupan modern ini dapat menerapakan konsep zuhud, yang pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak dan diperangkap oleh pengaruh duniawi. Demikian pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha untuk mengasingkan diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan, yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari perangkap keduniaan yang memperbudaknya.
Terakhir problema masyarakat modern diatas adalah adanya sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya, merasa kesunyian dan kehampaan jiwa ditengah-tengah derunya laju kehidupan. Untuk ini ajaran akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, dzikir, taubat dan berdoa menjadi penting adanya, sehingga ia tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup diakhirat nanti. Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan dari ajaran tasawuf akhlak. Untuk itu didalam mengatasi problematika kehidupan masyarakat modern saat ini, akhlak tasawuf harus dijadikan alternative terpenting. Ajaran imu tasawuf perlu disuntikan kedalam seluruh konsep kehidupan.
Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern.
Pada masa yang akan datang tampaknya akan berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian, masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam mengembangkan peradaban dimasa depan. Ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi pada tingkat corak keberagaman umat islam. Kemungkinan itu akan sangat ditentukan oleh berbagai factor yang saling menarik, misalnya kekuatan internal atau factor dinamik ajaran islam dengan kekuatan eksternal. Dengan demikian, kita hanya dapat memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan menjadi mental masyarakat dimasa mendatang.
Pertama, ialah kecenderungan bahwa islam akan semakin kuat. Disini ulama’ tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga kemurnian agama, dan karena itu memiliki otoritas untuk berbicara atas nama islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua, adalah kecenderungan bahwa islam akan berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang secara perlahan-lahan hanya memberikan peluang yang sangat kecil bagi penghayatan keagamaan.
Ketiga, ialah kecenderungan islam dihayati dan diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan industrialisasi.
Spiritualisme baik dakam bentuk tasawuf, ihsan maupun akhlak menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam setiap tahap perkembanagan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang, spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja dan bukan pelarian ketidak berdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat maju industrial, spiritualisme berfungsi sebagai tali penghubung Tuhan.
Perlu di ingat bahwa tasawuf tidak bisa dipisahkan dari kerangka pengalaman agama, dan arena itu harus berorientasi kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebutkan Hamka sebagai “Tasawuf Modern”, yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan jauh dari kemusyrikan, bid’ah serta khifarat. Namun demikian, dalam kehidupan riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran islam ditekankan sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya. Bagi masyarakat terbelakang, islam digambarkan sebagai ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat maju-industrial, islam ditekankan sebagai ajaran spiritual dan moral.  
3.      Hati adalah raja, baik buruknya anggota tubuh atau perilaku ditentukan oleh sang raja (hati). Jelaskan macam-macam hati menurut Ibnu Taimiyah (tiga macam), sebutkan hadits nabi sebagai dasarnya.

Nabi Muhammad SAW bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةَ إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلَّهُ, أَلَاَ وَهِى الْقَلَبُ. (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ ketahuilah, sesungguhnya didalam tubuh manusia ada segumpal daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi apabila daging itu rusak maka akan rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga macam kondisi hati manusia:
Pertama: hati yang sehat yang bisa menjadi selamat (Qalbu As-Salim). Ini yang dijanjikan akan bertemu Allah. Ia mempunyai tanda-tanda antara lain : imannya kokoh, mensyukuri nikmat, tidak serakah, hidupnya tenteram, khusyu’ dalam beribadah, banyak berdzikir, kebaikannya selalu meningkat, segera sadar jika lalai atau berbuat salah dan suka bertobat.
Kedua: hati yang mati (Qalbu Al-Mayyit), yang telah mengeras dan 70 membatu karena banyak kerak akibat dosa-dosa yang dilakukan sehingga menghalangi datangnya petunjuk Allah. Tanda-tandanya antara lain : tidak ada iman, mengingkari nikmat Alllah, dikuasai hawa nafsu, pikirannya negatif/buruk sangka, tak berperikemanusiaan, egois, keras kepala, dan tak pernah merasa bersalah.
Ketiga: hati yang sakit (Qalbu Al-Maridl), yang di dalamnya ada iman, ada ibadah ada pahala tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa baik kecil maupun besar. Tanda-tandanya antara lain : hatinya gelisah, tidak tenang, suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah menghargai orang lain, serba tidak enak/tidak nyaman, penderitaan lahir batin dan tidak bahagia.

4.      Dalam kajian mata kuliah akhlak tasawuf, dikenal istilah maqam dan ahwal. Jelaskan pengertian dan rincian kedua hal tersebut.
Definisi maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual. Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri", dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
Adapun "ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Dengan arti kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut, serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya. Seorang sufi tidak dibenarkan berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang ada dalam maqam tersebut.
Tahap-tahap atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli sufi, namun mereka bersependapat bahawa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah tawbah. Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada kondisi rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara
intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah
semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut
atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti
dan pengalaman dan sebagainya.
Al-Maqamat dan al-ahwal adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian daripada kausaliti (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan (exersice) rohani. Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat, diantaranya :
1.      Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba dalam wushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan Ridha.
2.      Al Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar - faqir - zuhud - tawakal - mahabah - ma'rifat dan ridha.
3.      At Thusi menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar - ridha - tawakal - ma'rifat.
4.      Al Kalabadhi (w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf", sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John Arberry dengan judul "The doctrine of the Sufi" 3) menjelaskan ada sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya - tawadhu (rendah hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma'rifat.
5.      Ibn Arabi dalam kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) 4) bahkan menyebutkan enam puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.
Maqam-maqam diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid, biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.
Menjelaskan perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk berpindah dari satu maqam ke maqam lain i memerlukan waktu berbilang tahun, sedangkan "ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati, ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".
Tentang "Hal", dapat diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al-
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu: Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan), al-khauf wa al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), al-syawq (rasa rindu), al-uns (rasa berteman), al-thuma’nînat (rasa tenteram), al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqîn (rasa yakin).
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
1.      Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat
juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-
sungguh.
2.      Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada
diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-
alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Adapun tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
1.      Tingkatan Taubat (At-Taubah)
2.      Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara');
3.      Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu)
4.      Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru)
5.      Tingkatan Sabar (Ash-Shabru)
6.      Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul)
7.      Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal) menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;
1.      Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
2.      Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
3.      Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
4.      Tingkatan takut (Al-Khauf)
5.      Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
6.      Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
7.      Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu)
8.      Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi'naan)
9.      Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
10.  Tingkatan kepastian (Al-Yaqiin).
Maqām merupakan tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl − sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1.      Maqam taubat
2.      Maqam zuhud
3.      Maqam shabar
4.      Maqam syukur
5.      Maqam khauf
6.      Maqam raja’
7.      Maqam ridha
8.      Maqam tawakkal
9.      Maqam mahabbah
10.  Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya. Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini, seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti: makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhud tidak dapat tercapai jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. “Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”. Sabar bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn ‘Ata’illah: “Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku) niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).
Jika seorang salik tidak mengetahui sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah. Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada diri salik, seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah, karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya.
Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah: ”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap, rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka. Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya. Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu, sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada QS. al-Mā’idah ayat 119:  (Allah riḍa terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah). ridha adalah anugerah yang diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya). Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Maqam Mahabbah Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah adalah tujuan utama dari semua maqām. Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan bahwa sālik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini adalah Allah SWT. ”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat (janji)pada seorang guru tarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam kesesatan. Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-
Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1.      Tarekat adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2.      Tarekat adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3.      Tarekat adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam, menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a.       Tarekat yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqamaat" dan "Al-Ahwaal".
b.      Tarekat yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi). Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh seorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqaamaat" dan "Al-Akhwaal", yakni kedudukan dan keadaan seorang salik dalam dunia  tasawuf
Maqam Hakikat  Istilah hakikat berasal dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:
1.      "Ainul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2.      "Ilmul Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3.      "Haqqul Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal". Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.
Maqam Marifat  Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:
1.      Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan: "Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
2.      Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
3.      Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: "Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat.
Karena itu, Shufi yang sudah mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
1.      Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
2.      Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
3.      Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebaga berikut:
1.      Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
2.      Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
3.      Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalamikesesatan.
5.      Jelaskan  yang dimaksudkan  dengan penyakit hati berikut ini :
Hasad, Riya, Sum’ah, Takabbur, hubbuddunya, itba’ul hawa, ghibah, namimah, bakhil, kasal/malas. Jelaskan solusi pencegahan pengobatannya.

a.       Hasad
Hasad dalam bahasa indonesia berarti dengki atau iri hati. Orang yang memilki sifat hasad akan merasa sakit hati apabila melihat orang lain memperoleh kenikmatan dari Allah. karenanya, ia akan selalu berusaha untuk menghalang-halangi orang lain untuk mendapatkan kenikmatan atau kesuksesan hidup.
Ciri-ciri hasad adalah senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain bahagia. Seorang pendengki itu selalu mencari kejelekan dan berusaha menghancurkan seseorang yang didengki supaya tidak mendapatkan kesuksesan, kebahagian, atau pujian dari orang lain.
Sedangkakan cara menghilangkan hasad, antara lain:
1)      Rajin mendengarkan nasihat agama.
2)      Rajin mendatangi majelis-majelis ilmu, terutama pengajian.
3)      Memperbanyak bergaul dengan orang shaleh.
4)      Melatih diri untuk dapat menerima kenyataan hidup yang dialami.
Bahaya hasad:
1)      Menghapus kesan kebaikan
2)      Merusak tali ukhuwah
3)      Membawa sikap takabbur
Tidak puas akan nikmat dan selalu membandingkan keatas.

b.      Riya
Riya adalah memamerkan dan menampakkan sesuatu yang ada pada dirinya, dengan tujuan supaya mendapat pujian atau sanjungan dari orang lain. Riya’ termasuk syirik yakni perbuatan menyekutukan Allah dengan sesuatu lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
“ sesungguhnya yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil. Sahabat bertanya, “apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “syirik yang paling aku takuti itu adalah riya’.”
Riya’ berdasarkan bentuknya ada 2, yaitu:
1)      Riya’ dalam niat
2)      Riya’ dalam perbuatan
Ciri-ciri perbuatan riya’:
1)      Niat bukan karena Allah,
2)      Tidak ikhlas,
3)      Mengada-ada,
4)      Pilih kasih,
5)      Ingin dipuji,
6)      Mengharap imbalan.
Cara menjauhi perilaku riya’:
1)      Sebaiknya seluruh amal yang kita lakukan diserahkan kepada Allah.
2)      Biasakan diri beramal atau beribadah tanpa diketahui orang lain.
3)      Muhasabah diri atau interpeksi diri.
4)      Berusaha untuk melawan bisikan setan untuk berbuat riya’ saat mebgerjakan suatu ibadah.
5)      Menghilangkan sebab-sebab riya’.
6)      Selalu berdoa dan memohon Allah agar hati lurus dan ikhlas dalam beribadah dan terhindar dari perbuatan riya’.
Bahaya perilaku riya’:
1)      Menghapus pahala amal.
2)      Riya’ lebih berbahay daripada fitnah dajjal.
3)      Riya’ meskipun syirik kecil tetapi dosanya lebih besar dari pada syirik, sehingga pelakunya dimasukkan kedalam neraka terlebih dahulu.

c.       Sum’ah
Sum’ah berasal dari kata samma’a yang artinya memperdengarkan. Secara terminologi artinya sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan amal shalihnya yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyinya kepada manusia agar dirinya mendapatkan kedudukan atau penghargaan dari mereka, atau mengharapkan keuntungan dari materi.
Dampak sum’ah:
1)      Terhalang dari hidayah serta taufiq dari Allah.
2)      Batal amalnya
3)      Mendapatkan azab di akhirat.
4)      Aibnya akan terbuka di dunia maupun akhirat.
5)      Menderita kesempitan dan kegelisahan.
6)      Tercabutnya kewibawaan.
7)      Tidak tekun dalam beramal.
Cara mengobatinnya:
1)      Senantiasa ingat akibat dari sum’ah.
2)      Menjauhi teman yang memilki sifat sum’ah.
3)      Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.
4)      Melatih dan mendidik diri.
5)      Bersikap lembut kepada orang lain.
6)      Selalu berpegang pada etika islam.
7)      Membaca kisah orang yang riya’
8)      Menambah pengetahuan tentang keikhlasan.
9)      Muhasabah diri
10)  Memohon perlindungan dari Allah.
d.      Takabur (sombong) dan Cara Mengobatinya
Takabur (arogan/sombong) adalah penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Orang yang takabur, hakikatnya tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Ia mengaku-ngaku sesuatu yang bukan miliknya. Takabur itu bagaikan bagaikan bau busuk yang sulit sekali disembunyikan. Orang yang mengidap penyakit ini sangat mudah dilihat oleh orang awam sekali pun, serta mudah dirasakan hati siapa pun. Apa ciri orang takabur itu? Rasulullah SAW bersabda, "Kesombongan adalah mendustakan kebenaran dan merendahkan orang lain." (HR Muslim)
1.    Mendustakan Kebenaran Orang takabur pada umumnya hidupnya jauh dari agama. Ia memiliki kebenaran versinya sendiri, sehingga tidak menyukai orang-orang lain yang berbeda dengan dirinya. Tidak mau dan tidak menyempatkan belajar tentang kebenaran. Orang takabur apabila ia punya kekuasaan, maka kekuasaan itu akan dipakai menumpas kebenaran.
2.    Merendahkan Orang Lain Orang takabur pada umumnya ingin selalu kelihatan lebih tinggi, ingin selalu diistimewakan. Ia akan tersinggung bila disamakan dengan orang yang levelnya dianggap lebih rendah. Suka mendominasi pembicaraan, senang memotong perkataan orang lain, nadanya pun cenderung lebih keras dan merendahkan yang mendengar. Ia pun selalu ingin menang sendiri saat bicara.
Orang takabur kurang suka mendengarkan orang lain. Bila orang lain berbicara dan pembicaranya dianggap lebih rendah levelnya, dia tak akan mau memperhatikan. Ada saja yang dilakukannya: ngobrol, menelpon, atau lainya. Akibatnya, orang yang bicara merasa direndahkan.
Orang takabur, kalau ia menyuruh, maka yang disuruh akan sakit hati. Cara duduk, berdiri, dan menunjuk pun cenderung tidak menghormati orang lain
Tabiat lain dari orang takabur adalah mudah marah dan kasar. Sering menghina, mencaci maki. Jarang sekali mau memuji dan mengakui kelebihan orang lain. Jarang berterima kasih. Tidak mau meminta maaf. Pantang menerima kritik dan saran. Tidak suka bermusyawarah. Tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangan. Sering dengki pada yang lain.
Orang takabur suka mencibir harkat dan martabat orang lain, kagum pada diri sendiri (i'jabul mari bin nafsihi), dan kemudian berkembang menjadi sifat egois chauvinistic yang berakibat putusnya tali persaudaraan, tumbuhnya permusuhan antar suku, golongan, bahkan bangsa.
Itulah sebabnya Allah memperingatkan keras agar kita tidak mencemooh satu kaum, karena siapa tahu yang kita cemooh justru lebih baik dari kita (49:11).
Sifat takabur ini bukan hanya dimiliki oleh orang kebanyakan seperti kita, tapi juga terutama oleh Pejabat, Ilmuwan dan Ulama. Banyak diantara mereka yang hanya memandang bahwa dirinyalah yang paling benar, yang lain salah. Sering kita dengar atau baca tulisan, dimana seorang Ulama mengkritik habis2an pandangan Ulama lain, dan menganggap bahwa yang lain salah, kecuali dirinya dan Ulama2 yang se-aliran atau menjadi rujukannya.
Sifat Takabur merupakan sikap yang sangat tercela, bahkan menurut Imam Ali kw dalam Najhul Balaghah, iblis pada awalnya merupakan makhluk yang paling gemar beribadah, tetapi kemudian menjadi hina dan terlempar ke dasar neraka jahanam karena menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Alih-alih bersujud, iblis malahan membusungkan dada, seraya berkata, "Aku lebih baik dari dia, aku diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah." (Q.S. 7:12).
Kiat dan cara mengobatinya ternyata sangat sederhana, Sayidina Ali kw mengajarkan kepada kita, "Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku."
e.       Hub. Al-Dunya
Sejalan dengan pendapat KH. Ahmad Rifa'i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu yang memberikan keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada manusia yang diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
1.        Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat. Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya, af'alNya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut bumi dan langitNya, serta ilmu yang disyari'atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal yang dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata
2.        Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
3.        Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian, dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong dunia.
Memperhatikan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia ialah segala sesuatu yang tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah dan tidak membawa manfaat di akhirat.
Seseorang yang mencintai  dunia akan mengakibatkan dirinya  banyak melakukan kesalahan dan berbuat dosa seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan Allah SWT. Sebagaimana Rasulullah SAW  menjelaskan: "Cinta terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan". Dijelaskan juga dalam al-Qur'an: "Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia dari pada kehidupan akhirat".
Dengan demikian setiap orang mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat, kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati seorang mukmin tidak boleh bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut dapat melupakan Allah dan melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan hal ini K.H Ahmad Rifa'i mengatakan : Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat berpaling dari dunia halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat mengambil dunia halal yang dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang bermanfaat di akhirat wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika tentu menolong taat terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait nazam di atas menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai berikut :
a.       Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
b.      Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
c.       Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d.       Mengambil dunia halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di akhirat, hukumnya juga sunat.
e.        Mengambil dunia halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa'i di atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa dunia itu tak perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah Allah yang perlu diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. Bersabda :
الدنيا مزرعة للأخرة
Artinya : Dunia adalah kebun bagi akhirat.
f.        Itba’ Al-Hawa. 
Oleh karena itu, hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara'. Karena hawa nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad bin Ibrahim :

أصل كل الشرر ضا ؤك عن نفسك مأوى الضر
Artinya : Setiap perbuatan jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi tempat penderitaan.


g.      Definisi Ghibah
Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits Rasulullah e berikut ini: “Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah e menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak benar, bererti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Berdasarkan hadits di atas telah jelas bahawa definisi ghibah iaitu menceritakan tentang diri saudara kita sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini bererti kita menceritakan dan menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah S.w.t berfirman:
” Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12
Cara mengatasi dan mengobatinya yaitu dengan banyak mmbaca istighfar, semenghidari perkumpulan-perkumpulan yang nantinya akan menimbulkan ghibah, jika ada yang sedang berghibah diingatkan kalau iu tidak baik, kalau tidak berani maka pergilah dan doakan agar berhenti berghibah.
h.      Pengertian Namimah
Namimah artinya adu domba yaitu  usaha untuk membuat orang lain saling bermusuhan. Umpanya pembicaraan si A disampaikan kepada si B yang pernah diperkatakan si A dengan tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara si A dan si B dan mengotori kejernihan pergaulan atau menambah keruhnya pergaulan. Sikap namimah sangat dibenci Islam, karena dapat membuat persatuan umat menjadi pecah sehingga dapat melumpuhkan (melemahkan)  kekuatan umat Islam.
Firman Allah :
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِينٍ , هَمَّازٍ مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (القلم: 10-11)



Artinya :
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah. (Q.S. Al Qalam [68] : 10-11)

Orang yang mempunyai sifat namimah tidak akan masuk surga seperti dadijelaskan dalam hadis Nabi SAW :

عَنْ حُذَ يْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ
 نَمَامٌ (اخرجه الشيخان)

Artinya :
Diriwayatkan dari Hudzaifah dia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda: "tidak akan masuk surga orang yang suka adu domba". (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda lainnya, Rasulullah telah bersabda, yang artinya :
Yang amat dicintai Allah Swt. ialah yang terbaik akhlaknya, yang dermawan lagi gemar menjamu orang, yang dapat menyesuaikan diri lagi dapat diikuti penyesuaian dirinya itu, sedang yang amat dibenci di sisi Allah ialah orang-orang yang suka berjalan dengan berbuat adu domba, yang memecah belah antara saudara-saudara, lagi pula mencari-cari alasan untuk melepaskan diri dari kesalahan-kesalahan”. (H.R. Ahmad)

 Cara Menghindari Perilaku Namimah
1.    Menyadari tentang bahayanya sifat namimah
2.    Menyadari bahwa namimah adalah perbuatan dosa
3.    Selalu meneliti kebenaran informasi yang didengarnya
4.    Menyadari bahwa diri kita juga tidak suka apabila diadu domba dengan orang lain

Dalam kehidupan terdapat orang yang memiliki sifat namimah maka akan mudah terjadi pertengkaran dan ketenteraman dalam kehidupan masyarakat tidak akan bisa tercapai. Maka dari itu sifat namimah harus selalu dijauhi oleh semua orang supaya ketenteraman dalam kehidupan dapat dirasakannya.
                                                     i.     Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias Pelit alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal segala harta kita termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang kita simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada gunanya bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
k. malas
Malas adalah kondisi diri yang tidak bergairah dalam menjalankan sesuatu. Rasa malas adalah penyakit paling mengerikan yang dapat menghambat kesuksesan seseorang.
Cara mengatasi dan mengobati malas :
1.     Menata Hidup
2.    Kerjakan Hal Yang Sulit Dipagi Hari
3.    Hilangkan Kebiasaan Duduk di Sofa atau Berbaring di Tempat Tidur sebelum
4.    Berikan Motivasi Pada Diri Sendiri
5.    Pede Untuk Menghadiahi Diri Sendiri
6.    Olahraga rutin
Cara Menghilangkan Rasa Malas Sholat:

1.        Tanamkan Niat, Segala sesuatu dapat terjadi karena didasari dengan, baik perbuatan positif ataupun negatif. Saat Anda hendak menjalankan ibadah wajib yang harus dikerjakan oleh umat islam, niatkan dalam hati bahwa Anda ingin mendapatkan pahala, dan pikirkan juga bahwa meninggalkan sholat itu dosa besar dimana ganjarannya adalah api neraka yang sangat panas

2.        Imbangi Dengan Kebiasaan, "Seseorang menjadi bisa karena terbiasa", pepatah tersebut sangat tepat untuk mewakili faktor keberhasilan seseorang. Jika Anda pria, biasakan untuk sholat di masjid atau musholla dekat rumah, lama kelamaan aktivitas ini akan tertanam kuat didalam hati sehingga menjadi kebiasaan yang sangat sulit ditinggalkan.

3.        Jangan Menunda Waktu Sholat, Jangan bilang nanti ketika mendengar seruan Allah. Walau Anda sedang mengerjakan pekerjaan yang statusnya sulit, hentikan beberapa saat untuk menyembah Allah. Ketika sholat hati dan pikiran menjadi lebih tenang, disamping itu tanpa disadari pekerjaan Anda akan cepat terselesaikan karena muncul berbagai inspirasi setelah Anda mengerjakan sholat.


6.      Tulislah Sayyidul Istighfar, jelaskan makna dari sayyidul Istighfar.

اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ
وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ
عَلَيَّ, وَأَبُوءُ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ
Allahumma Anta Rabbii Laa Ilaaha Illaa Anta Khalaqtnii Wa Anna ‘Abduka Wa Anaa ‘Alaa ‘Ahdika Wa Wa’dika. Mastatha’tu a’uudzu Bika Min Syarri Maa Shana’tu Abuu u Laka Bini’ Matika ‘Alayya Wa Abuu-uBidzanbii Faghfir Lii Fa Innahu Laa Yagfirudz Dzunuuba Illa Anta
Artinya :”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku, Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.
Keutamaan sayyidul istighfar terdapat dalam hadist yang berbunyi : “Barangsiapa mengucapkannya di siang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya, kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.”
Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1.    Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306, 6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
2.    Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra (no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3.    Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân ‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4.    Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no. 7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no. 312-313)al-Hâkim (II/458)
5.    Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
6.    Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu
          Namun harus kita ingat dalam Islam, makna Istighfar tidak terletak pada pengucapannya, namun pada seberapa dalam seseorang yang beristighfar memaknai dan menghayati apa yang ia ucapkan, dalam konteks yang lebih jauh lagi, agar ia terus mengingat Tuhan di saat ia tergoda untuk melakukan perbuatan dosa, dan apabila telah melakukan dosa, maka istighfar adalah titik baginya untuk bertekad tidak mengulangi perbuatannya.
7.      Jelaskan perbedaan guru lulusan Pendidikan Saintek dari UIN  dengan Perguruan Tinggi Umum.

Perbedaan guru lulusan Pendidikan Saintek dari UIN  dengan Perguruan Tinggi Umum yaitu lako lulusan Saintek dari UIN itu memiliki bekal pengetahuan agama seperti tauhid, akhlak/tasawuf,fiqih dll. Sehingga  memiliki perilaku yang baik serta memiliki pengetahuan agama serta pengetahuan ilmu umum .















Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kelebihan dan Kekurangan Blogger dan Wordpress

ALAT PERAGA FISIKA