UAS AKHLAK TASAWUF
TUGAS MANDIRI
MATA KULIAH AKHLAK TASAWUF
Jurusan/Prodi : Pendidikan Fisika
Dosen Pengampu : Drs. Soeparyo, M.Ag
Nama : Khotijah
NIM : 1403066061
1.
Tulislah Hadits tentang al Muflis. Siapakah al
Muflis. Jelaskan makna dan kandungannya, serta jelaskan keterkaitannya dengan
akhlak tasawuf.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
Artinya: “Tahukah kalian, siapakah muflis (orang yang bangkrut) itu?”, mereka (para sahabat) berkata, “Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya dan tidak memiliki barang”. Rasulullah SAW berkata, “Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka.” (HR Muslim IV/1997 no 2581)
Hadits di atas derajadnya shahih. Hadits ini diriwayatkan oleh
Ahmad (2 : 334, No. 8395), Muslim (4 : 1997, No. 2581), Tirmidzi (4 : 613, No.
2418), Thabrani dalam Al-Ausath ( 3 : 156, No. 2778) dan Dailami (2 : 60, No.
2338). Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
PENJELASAN :
Dalam Syarhu as-Sunani Abi Daud oleh Abdul Muhsin al-Ibad (6
: 500), dapat kita baca penjelasan hadits di atas sebagai berikut: “Para
sahabat memahami al-muflis sebagai kebangkrutan duniawi, sedangkan maksud Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah kebangkrutan ukhrawi. Maka jawab beliau :
‘al-muflis (bangkrut) ialah orang yang di hari kiamat dengan membawa
(sebanyak-banyak) pahala shalat, zakat, puasa dan haji; tetapi (sementara itu)
datanglah orang-orang yang menuntutnya, karena ketika (di dunia) ia mencaci
ini, menuduh itu, memakan harta si ini, melukai si itu, dan memukul si ini.
Maka di berikanlah pahala-pahala kebaikannya kepada si ini dan si itu. Jika
ternyata pahala-pahala kebaikannya habis sebelum dipenuhi apa yang menjadi
tanggungannya, maka diambillah dosa-dosa mereka (orang-orang yang pernah di
dzalimi, dipukul, di fitnah), lalu dosa-dosa itu ditimpakan kepadanya. Kemudian
dia dicampakkan ke dalam api neraka’.
Berkata
Al-Hasan Al-Bashri, كَفَّارَةُ
الْغِيْبَةِ أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ
“Penebus dosa ghibah adalah engkau meminta ampunan bagi orang yang engkau
ghibahi.” (Lihat Majmu’ fatawa XVIII/189).
Keterkaitannya
dengan akhlak tasawuf yaitu didalam akhlak tasawuf kita mempelajari akhlak
supaya kita menjadi orang yang kaya (hati), menjaga hubungan baik dengan Allah
dan makhluknya serta menjaga sikap dan perbuatan sehingga tidak menjadi orang yang
bangkrut (hati) di akhirat.
2.
Jelaskan dampak kehidupan modern, bagaimanakah
peran akhlak tasawuf.
Problematika Masyarakat Modern
Revolusi teknologi
dapat meningkatkan control manusia pada materi, ruang dan waktu, menimbulkan
evolusi ekonomi, gaya hidup, pola pikir, dan system rujukan. Dan kehadiran ilmu
pengetahuan dan teknologi telah melahirkan problematika masyarakat modern sebagai
berikut:
- Desintegrasi ilmu pengetahuan; Kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengetahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang) nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang mengalami masalah kemudian pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, ekonom psikolog dan lain-lain, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda sehingga dapat membingungkan manusia.
- Kepribadian yang terpecah; Karena kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang coraknya kering dari nilai-nilai spiritual dan berkotak-kotak itu, maka manusia menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur oleh rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya hal ini dapat menghilangkan nilai rohaniah, jika keilmuan yang berkembang itu tidak berada dibawah kendali agama maka proses kehancuran manusia akan terus berjalan.
- Penyalahgunaan Iptek; Sebagai akibat dari lepasnya ilmu pengetahuan dan tekologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatifnya. Kemampuan membuat senjata telah diarahkan untuk penjajahan satu bangsa. Kemampuan dibidang rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Sehingga semua itu dapat terlihat akan rusaknya moral umat dan lain sebagainya.
- Pendangkalan Iman; Sebagai akibat dari pola fikir keilmuan diatas, khususnya ilmu-ilmu yang hanya mengakui fakta-fakta yang bersifat empiris menyebabkan manusia dangkal imannya. Ia tidak tersentuh oleh informasi yang diberikan oleh wahyu, bahkan informasi yang diberikan oleh wahyu kadang hanya menjadi bahan tertawaan karena tidak ilmiah.
- Pola hubungan materialistic; Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong yang didasarkan akan panggilan iman sudah tidak nampak lagi. Pola hubungan satu sama lain hanya dilihat dari sejauh mana seseorang memberikan manfaat secara material terhadap lainnya. Akibatnya ia menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, nurani, hati, kemanusiaan dan keimanannya.
- Menghalalkan segala cara; Sebagai akibat lebih jauh dari dangkalnya iman dan pola hidup materialistic sebagaimana yang disebutkan diatas, maka manusia mudah menggunakan prinsip menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuannya. Jika ini terus berlanjut akan terjadi kerusakan akhlak dalam berbagai bidang kehidupan.
- Stres dan Frustasi sehingga dapat kehilangan harga diri dan masa depannya; Kehidupan modern yang kompetitif seperti ini mengakibatkan manusia terus bekerja dan bergerak tanpa mengenal batas dan kepuasaan. Hal ini mengakibatkan tidak pernah ada rasa syukur yang muncul dari hati manusia. Ketika mengalami kegagalan tekadang mereka stress dan frustasi sehingga mereka tidak dapat berfikir dengan jernih akibat dari jauhnya kehidupan mereka dari nilai-nilai spiritual. Maka dari itu pengambialn keputusan yang salah pada kondisi ini sering terjadi. Tak sedikit orang terjerumus kedalam hal yang negative dimana dapat menghilangkan harga diri mereka dan masa depan kelak.
Relefansi Tasawuf Dalam Kehidupan Modern
Banyak cara yang dianjurkan para ahli untuk
mengatasi masalah, salah satu cara yang dianjurkan para ahli adalah dengan cara
mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Salah satu tokoh yang
begitu memperjuangkan akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah modern adalah
Husein Nasrh, menurutnya paham sufisme ini mulai mendapat tempat dikalangan
masyaraka, karena mereka mulai merasakan kekeringan batin dimana sufisme yang
dapat menjawab persoalan mereka.
Mengapa sufisme perlu dimasyarakatkan pada
mereka? Jawabannya terdapat 3 tujuan.
Pertama, turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan
kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat dari hilangnya nilai-nilai
spiritual. Kedua, memperkenalkan
literatur atau pemahaman tentang aspek esoteric (batin) islam, baik terhadap
masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam, khususnya terhadap
masyarakat barat. Ketiga, untuk
memberikan penegasan kembali bahwasannya sesungguhnya aspek esoteric islam,
yakni sufisme, adalah jantung dari ajaran islam, sehingga bila wilayah ini
kering dan tidak berdenyut, maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam. Dalam
hal ini Nasrh menegaskan “tarikat” atau “jalan rohani” yang biasanya dikenal
sebagai tasawuf atau sufisme adalah merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan
dalam islam, sebagaimana syariat berakar pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia
menjadi jiwa dan risalah islam, seperti hati yang ada pada tubuh, tersembunyi
jauh dari pandangan luar.
Intisari ajaran tasawuf bertujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan
kesadarannya itu berada di hadirat-Nya. Upaya ini dilakukan antara lain dengan
melepaskan diri dari jeratan dunia yang senantiasa berubah dan bersifat
sementara. Orang yang telah sampai pada tujuan tersebut akan selamat dari
jeratan duniawi. Ketika telah sampai pada tahap ma’rifat yakni tahap tempat
antara hamba dengan Tuhan-Nya tidak ada tabir yang menutup, sementara hati sang
hamba telah dipenuhi dengan cinta bukan rasa takut kepada Tuhan.
Kemampuan berhubungan dengan Tuhan ini dapat
mengintegrasikan seluruh ilmu pengetahuan yang nampak berserakan itu. Karena
melalui tasawuf ini seseorang disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini
berasal dari Tuhan, bahwa dalam paham wahdatul wujud, alam dan manusia yang menjadi
objek ilmu pengetahuan ini sebenarnya adalah baying-bayang atau fotocopy Tuhan.
Dengan demikian antara satu ilmu dengan yang lain akan mengarah pada Tuhan.
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar
memiliki ketajaman batin dan kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan
budi yang tajam ini menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan
kemanusiaan pada setiap masalah yang dihadapi. Demikian pula tarikat yang
terdapat pada tasawuf akan membawa manusia memiliki jiwa istiqamah, jiwa yang
selalu diisi dengan nilai-nilai ketuhanan. Keadaan demikian menyebabkan ia
tetap tabah dan tidak mudah terhempas oleh cobaan dimana stress, putus asa, dan
lainnya akan dapat dihindari.
Sikap frustasi bahkan hilang ingatan alias gila
dapat diatasi dengan sifat ridha yang diajarkan dalam tasawuf, yaitu selalu
pasrah dan menerima terhadap segala keputuasan Tuhan. Ia menyadari bahwa yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu adalah Tuhan. Sikap demikian itu diperlukan
untuk mengatasi frustasi.
Kemudian sikap materialistic yang merajalela
dalam kehidupan modern ini dapat menerapakan konsep zuhud, yang pada intinya
sikap yang tidak mau diperbudak dan diperangkap oleh pengaruh duniawi. Demikian
pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf, yaitu usaha untuk mengasingkan
diri dari terperangkap oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan untuk
membekali manusia modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin kehidupan, yang
tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf dengan konsep uzlahnya itu
berusaha membebaskan manusia dari perangkap keduniaan yang memperbudaknya.
Terakhir problema masyarakat modern diatas
adalah adanya sejumlah manusia yang kehilangan masa depannya, merasa kesunyian
dan kehampaan jiwa ditengah-tengah derunya laju kehidupan. Untuk ini ajaran
akhlak tasawuf yang berkenaan dengan ibadah, dzikir, taubat dan berdoa menjadi
penting adanya, sehingga ia tetap mempunyai harapan, yaitu bahagia hidup
diakhirat nanti. Itulah sumbangan positif yang dapat digali dan dikembangkan
dari ajaran tasawuf akhlak. Untuk itu didalam mengatasi problematika kehidupan
masyarakat modern saat ini, akhlak tasawuf harus dijadikan alternative
terpenting. Ajaran imu tasawuf perlu disuntikan kedalam seluruh konsep
kehidupan.
Peranan Tasawuf Dalam Kehidupan Modern.
Pada masa yang akan datang tampaknya akan
berkembang ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi akan
berlangsung terus dan sangat menentukan peradaban umat manusia. Namun demikian,
masalah moral dan etika akan ikut mempengaruhi pilihan strategi dalam
mengembangkan peradaban dimasa depan. Ada beberapa kemungkinan yang akan
terjadi pada tingkat corak keberagaman umat islam. Kemungkinan itu akan sangat
ditentukan oleh berbagai factor yang saling menarik, misalnya kekuatan internal
atau factor dinamik ajaran islam dengan kekuatan eksternal. Dengan demikian,
kita hanya dapat memperkirakan beberapa kemungkinan corak agama yang akan
menjadi mental masyarakat dimasa mendatang.
Pertama, ialah kecenderungan bahwa islam akan
semakin kuat. Disini ulama’ tetap memegang peran penting dalam rangka menjaga
kemurnian agama, dan karena itu memiliki otoritas untuk berbicara atas nama
islam yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah.
Kedua, adalah kecenderungan bahwa islam akan
berfungsi sebagai ajaran etika akibat proses modernisasi dan sekularisasi yang
secara perlahan-lahan hanya memberikan peluang yang sangat kecil bagi
penghayatan keagamaan.
Ketiga, ialah kecenderungan islam dihayati dan
diamalkan sebagai sesuatu yang spiritual sebagai reaksi terhadap perubahan
masyarakat yang sangat cepat akibat kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan
industrialisasi.
Spiritualisme baik dakam bentuk tasawuf, ihsan
maupun akhlak menjadi kebutuhan sepanjang hidup manusia dalam setiap tahap
perkembanagan masyarakat. Untuk masyarakat yang masih terbelakang,
spiritualisme harus berfungsi sebagai pendorong untuk meningkatkan etos kerja
dan bukan pelarian ketidak berdayaan masyarakat untuk mengatasi tantangan
hidupnya. Sedangkan bagi masyarakat maju industrial, spiritualisme berfungsi
sebagai tali penghubung Tuhan.
Perlu di ingat bahwa tasawuf tidak bisa
dipisahkan dari kerangka pengalaman agama, dan arena itu harus berorientasi
kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Inilah yang mungkin disebutkan Hamka sebagai
“Tasawuf Modern”, yakni tasawuf yang membawa kemajuan, bersemangat tauhid dan
jauh dari kemusyrikan, bid’ah serta khifarat. Namun demikian, dalam kehidupan
riil mungkin saja terjadi bahwa salah satu aspek ajaran islam ditekankan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada zamannya. Bagi masyarakat terbelakang, islam
digambarkan sebagai ajaran yang mendorong kemajuan. Bagi masyarakat
maju-industrial, islam ditekankan sebagai ajaran spiritual dan moral.
3.
Hati adalah raja, baik buruknya anggota tubuh
atau perilaku ditentukan oleh sang raja (hati). Jelaskan macam-macam hati
menurut Ibnu Taimiyah (tiga macam), sebutkan hadits nabi sebagai dasarnya.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
أَلَا وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةَ إِذَا صَلَحَتْ
صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ, وَاِذَا فَسَدَتْ فَسَدَالْجَسَدُ كُلَّهُ, أَلَاَ
وَهِى الْقَلَبُ. (رواه البخار ومسلم)
Artinya: “ ketahuilah, sesungguhnya didalam tubuh manusia ada segumpal
daging, apabila daging itu baik maka baiklah tubuh manusia itu, akan tetapi
apabila daging itu rusak maka akan rusak pula tubuh manusia. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Menurut Ibnu Taimiyah, ada tiga
macam kondisi hati manusia:
Pertama: hati yang sehat yang bisa menjadi
selamat (Qalbu As-Salim). Ini yang dijanjikan akan bertemu Allah. Ia
mempunyai tanda-tanda antara lain : imannya kokoh, mensyukuri nikmat, tidak
serakah, hidupnya tenteram, khusyu’ dalam beribadah, banyak berdzikir,
kebaikannya selalu meningkat, segera sadar jika lalai atau berbuat salah dan
suka bertobat.
Kedua: hati yang mati (Qalbu Al-Mayyit),
yang telah mengeras dan 70 membatu karena banyak kerak akibat dosa-dosa yang
dilakukan sehingga menghalangi datangnya petunjuk Allah. Tanda-tandanya antara
lain : tidak ada iman, mengingkari nikmat Alllah, dikuasai hawa nafsu,
pikirannya negatif/buruk sangka, tak berperikemanusiaan, egois, keras kepala,
dan tak pernah merasa bersalah.
Ketiga: hati yang sakit (Qalbu Al-Maridl),
yang di dalamnya ada iman, ada ibadah ada pahala tetapi juga ada kemaksiatan
dan dosa-dosa baik kecil maupun besar. Tanda-tandanya antara lain : hatinya
gelisah, tidak tenang, suka marah, tidak pernah punya rasa puas, susah
menghargai orang lain, serba tidak enak/tidak nyaman, penderitaan lahir
batin dan tidak bahagia.
4.
Dalam kajian mata kuliah akhlak tasawuf,
dikenal istilah maqam dan ahwal. Jelaskan pengertian dan rincian kedua hal
tersebut.
Definisi
maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti
kedudukan spiritual. Maqam arti dasarnya 1) adalah "tempat berdiri",
dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di
hadapan Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
Adapun
"ahwal" bentuk jamak dari 'hal' 2) biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan
spiritualnya.
Dengan arti
kata lain, maqam didefinisikan sebagai suatu tahap adab (etika) kepada-Nya
dengan bermacam usaha diwujudkan untuk satu tujuan pencarian dan ukuran tugas
masing-masing yang berada dalam tahapnya sendiri ketika dalam kondisi tersebut,
serta tingkah laku riyadah (exercise) menuju kepadanya. Seorang sufi tidak dibenarkan
berpindah ke suatu maqam lain, kecuali setelah menyelesaikan syarat-syarat yang
ada dalam maqam tersebut.
Tahap-tahap
atau tingkat-tingkat maqam ini bukannya berbentuk yang sama di antara ahli-ahli
sufi, namun mereka bersependapat bahawa tahap permulaan bagi setiap maqam ialah
tawbah. Rentetan amalan para sufi tersebut di atas akan memberi kesan kepada kondisi
rohani yang disebut sebagai al-ahwal yang diperoleh secara
intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah
semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut
atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti
dan pengalaman dan sebagainya.
intuitif dalam hati secara tidak langsung sebagai anugerah daripada Allah
semata-mata, daripada rasa senang atau sedih, rindu atau benci, rasa takut
atau sukacita, ketenangan atau kecemasan secara berlawanan dalam realiti
dan pengalaman dan sebagainya.
Al-Maqamat dan
al-ahwal adalah dua bentuk kesinambungan yang bersambungan dan bertalian
daripada kausaliti (sebab akibat) amalan-amalan melalui latihan-latihan
(exersice) rohani. Banyak pendapat yang berbeda untuk mendefinisikan maqamat,
diantaranya :
1. Al Qusyairi, menjelaskan bahwa maqamat adalah etika seorang hamba
dalam wushul (mencapai, menyambung) kepadanya dengan macam upaya, diwujudkan
dengan tujuan pencarian dan ukuran tugas. Al Qusyairi menggambarkan maqamat dalam
taubat - wara - zuhud - tawakal - sabar dan Ridha.
2. Al Ghazali
dalam kitab Ihya Ulumudin membuat sistematika maqamat dengan taubat - sabar -
faqir - zuhud - tawakal - mahabah - ma'rifat dan ridha.
3. At Thusi
menjelaskan maqamat sebagai berikut : Al Taubat - Wara - Zuhud - faqir - sabar
- ridha - tawakal - ma'rifat.
4. Al Kalabadhi
(w. 990/5) didalam kitabnya "Al taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf",
sebuah kitab yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Arthur John
Arberry dengan judul "The doctrine of the Sufi" 3) menjelaskan ada
sekitar 10 maqamat : Taubat - zuhud - sabar - faqir - dipercaya - tawadhu
(rendah hati) - tawakal - ridho - mahabbah (cinta) -dan ma'rifat.
5. Ibn Arabi dalam
kitab Al futuhat Al Makiyah (The Meccan Revalation) 4) bahkan menyebutkan enam
puluh maqam tetapi tidak memperdulikan sistematika maqam tersebut.
Maqam-maqam
diatas harus dilalui oleh seorang sufi yang sedang mendekatkan diri kepada
Tuhannya. Karena urutan masing-masing ulama sufi dalam menentukan urutan
seperti yang tersebut di atas tidak seragam sehingga membingungkan murid,
biasanya Syaikh (guru) tasawuf akan memberikan petunjuknya kepada muridnya.
Menjelaskan
perbedaan tentang maqamat dan hal membingungkan karena definisi dari
masing-masing tokoh tasawuf berbeda tetapi umumnya yang dipakai sebagai
berikut: Maqamat adalah perjalanan spiritual yang diperjuangkan oleh para Sufi
untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya
merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa
nafsu termasuk ego manusia yang dipandang sebagai berhala besar dan merupakan
kendala untuk menuju Tuhan. Didalam kenyataannya para Saliki memang untuk
berpindah dari satu maqam ke maqam lain i memerlukan waktu berbilang tahun,
sedangkan "ahwal" sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari
Tuhan. Contoh ahwal yang sering disebut adalah : takut , syukur, rendah hati,
ikhlas, takwa, gembira. Walaupun definisi yang diberikan sering berlawanan
makna, namun kebanyakan mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan
dan berlangsung sebentar dan diperoleh bukan atas dasar usaha sadar dan
perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah dari
kilatan Ilahiah (divine flashes), yang biasa disebut "lama'at".
Tentang "Hal", dapat
diambil contoh beberapa item yang diungkapkan oleh al-
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu: Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan), al-khauf wa al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), al-syawq (rasa rindu), al-uns (rasa berteman), al-thuma’nînat (rasa tenteram), al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqîn (rasa yakin).
Thusi sebagai item yang termasuk di dalam kategori hâl yaitu: Al-murâqabat (rasa selalu diawasi oleh Tuhan), al-qurb (perasaan dekat kepada Tuhan), al-mahabbat (rasa cinta kepada Tuhan), al-khauf wa al-rajâ’ (rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), al-syawq (rasa rindu), al-uns (rasa berteman), al-thuma’nînat (rasa tenteram), al-musyâhadat (perasaan menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan al-yaqîn (rasa yakin).
Kembali kepada masalah Al-Maqaamaat
dan Al-Akhwaal, yang dapat dibedakan dari dua segi:
1. Tingkat kerohanian yang disebut maqam hanya dapat diperoleh
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat
juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-
sungguh.
dengan cara pengamalan ajaran Tasawuf yang sungguh-sungguh. Sedangkan
ahwaal, di samping dapat diperoleh manusia yang mengamalkannya, dapat
juga diperoleh manusia hanya karena anugrah semata-mata dari Tuhan,
meskipun ia tidak pernah mengamalkan ajaran Tasawuf secara sungguh-
sungguh.
2. Tingkatan kerohanian yang disebut maqam sifatnya langgeng atau
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada
diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-
alasannya.
bertahan lama, sedangkan ahwaal sifatnya sementara; sering ada pada
diri manusia, dan sering pula hilang. Meskipun ada pendapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan bahwa maqam dan ahwaal sama pengertiannya,
namun penulis mengikuti pendapat yang membedakannya beserta alasan-
alasannya.
Tentang jumlah tingkatan maqam dan
ahwaal, tidak disepakati oleh Ulama Tasawuf. Abu Nashr As-Sarraaj mengatakan
bahwa tingkatan maqam ada tujuh, sedangkan tingkatan ahwaal ada sepuluh. Adapun
tingkatan maqam menurut Abu Nashr As-Sarraj, dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Tingkatan Taubat (At-Taubah)
2. Tingkatan pemeliharaan diri dari perbuatan yang haram dan yang
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara');
makruh, serta yang syubhat (Al-Wara');
3. Tingkatan meninggalkan kesenangan dunia (As-Zuhdu)
4. Tingkatan memfakirkan diri (Al-Faqru)
5. Tingkatan Sabar (Ash-Shabru)
6. Tingkatan Tawakkal (At-Tawakkul)
7. Tingkatan kerelaaan (Ar-Ridhaa).
Mengenai tingkatan hal (al-ahwaal)
menurut Abu Nash As Sarraj, dapat dikemukakan sebagai berikut;
1. Tingkatan Pengawasan diri (Al-Muraaqabah)
2. Tingkatan kedekatan/kehampiran diri (Al-Qurbu)
3. Tingkatan cinta (Al-Mahabbah)
4. Tingkatan takut (Al-Khauf)
5. Tingkatan harapan (Ar-Rajaa)
6. Tingkatan kerinduan (Asy-Syauuq)
7. Tingkatan kejinakan atau senang mendekat kepada perintah Allah
(Al-Unsu)
(Al-Unsu)
8. Tingkatan ketengan jiwa (Al-Itmi'naan)
9. Tingkatan Perenungan (Al-Musyaahaah)
10. Tingkatan
kepastian (Al-Yaqiin).
Maqām merupakan
tahapan-tahapan thariqah yang harus dilalui oleh seorang salik, yang membuahkan
keadaan tertentu yang merasuk dalam diri salik. Semisal maqām taubat; seorang
salik dikatakan telah mencapai maqām ini ketika dia telah bermujahadah dengan
penuh kesungguhan untuk menjauhi segala bentuk maksiat dan nafsu syahwati. Dengan demikian, maqām adalah suatu keadaan tertentu yang ada pada
diri salik yang didapatnya melalui proses usaha riyadhah (melatih hawa nafsu).
Sedangkan yang dimaksud dengan hāl −
sebagaimana diungkapkan oleh al-Qusyairi − adalah suatu keadaan yang
dianugerahkan kepada seorang sālik tanpa melalui proses usaha riyadhah.
Namun, dalam konsep maqām ini Ibn
Atha’illah memiliki pemikiran yang berbeda, dia memandang bahwa suatu maqām
dicapai bukan karena adanya usaha dari seorang salik, melainkan semata anugerah
Allah swt. Karena jika maqām dicapai karena usaha salik sendiri, sama halnya
dengan menisbatkan bahwa salik memiliki kemampuan untuk mencapai suatu maqām
atas kehendak dan kemampuan dirinya sendiri.
Pun jika demikian, maka hal ini
bertentangan dengan konsep fana’ iradah, yaitu bahwa manusia sama sekali tidak
memiliki kehendak, dan juga bertentangan dengan keimanan kita bahwa Allah yang
menciptakan semua perbuatan manusia. Dengan demikian, bagi seorang salik untuk
mencapai suatu maqām hendaknya salik menghilangkan segala kehendak dan
angan-angannya (isqath al-iradah wa al-tadbir).
Mengenai maqām, Ibn Atha’illah
membaginya tingkatan maqam sufi menjadi 9 tahapan;
1. Maqam taubat
2. Maqam zuhud
3. Maqam shabar
4. Maqam syukur
5. Maqam khauf
6. Maqam raja’
7. Maqam ridha
8. Maqam tawakkal
9. Maqam mahabbah
10. Maqam Taubat
Taubat adalah maqam awal yang harus dilalui oleh seorang salik. Sebelum
mencapai maqam ini seorang salik tidak akan bisa mencapai maqam-maqam lainnya.
Karena sebuah tujuan akhir tidak akan dapat dicapai tanpa adanya langkah awal
yang benar.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Cara taubat sebagaimana pandangan Ibn Atha’illah adalah dengan bertafakkur dan berkhalwat. sedang tafakkur itu sendiri adalah hendaknya seorang salik melakukan instropeksi terhadap semua perbuatannya di siang hari. Jika dia mendapati perbuatannya tersebut berupa ketaatan kepada Allah, maka hendaknya dia bersyukur kepada-Nya. Dan sebaliknya jika dia mendapati amal perbuatannya berupa kemaksiatan, maka hendaknya dia segera beristighfar dan bertaubat kepada-Nya.
Untuk mencapai maqam taubat ini,
seorang salik harus meyakini dan mempercayai bahwa irodah (kehendak) Allah
meliputi segala sesuatu yang ada. Termasuk bentuk ketaatan salik, keadaan lupa
kepada-Nya, dan nafsu syahwatnya, semua atas kehendak-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Sedangkan hal yang dapat membangkitkan maqam taubat ini adalah berbaik sangka (husn adz-dzon) kepada-Nya. Jika seorang salik terjerumus dalam sebuah perbuatan dosa, hendaknya ia tidak menganggap bahwa dosanya itu sangatlah besar sehingga menyebabkan dirinya merasa putus asa untuk bisa sampai kepada-Nya.
Maqam Zuhud Dalam pandangan Ibn ‘Aţā’illah, zuhd ada 2 macam; Zuhd Ẓahir Jalī
seperti zuhd dari perbuatan berlebih-lebihan dalam perkara ḥalal, seperti:
makanan, pakaian, dan hal lain yang tergolong dalam perhiasan duniawi. Dan Zuhd
Bāţin Khafī seperti zuhd dari segala bentuk kepemimpinan, cinta penampilan
zahir, dan juga berbagai hal maknawi yang terkait dengan keduniaan”.
Hal yang dapat membangkitkan maqām
zuhd adalah dengan merenung (ta’ammul). Jika seorang sālik benar-benar
merenungkan dunia ini, maka dia akan mendapati dunia hanya sebagai tempat bagi
yang selain Allah, dia akan mendapatinya hanya berisikan kesedihan dan
kekeruhan. Jikalau sudah demikian, maka sālik akan zuhd terhadap dunia. Dia
tidak akan terbuai dengan segala bentuk keindahan dunia yang menipu.
Maqām zuhud tidak dapat tercapai
jika dalam hati sālik masih terdapat rasa cinta kepada dunia, dan rasa ḥasud
kepada manusia yang diberi kenikmatan duniawi. Alangkah indahnya apa yang
dikatakan oleh Ibn ‘Aţā’illah: ”Cukuplah kebodohan bagimu jika engkau ḥasud
kepada mereka yang diberi kenikmatan dunia. Namun, jika hatimu sibuk dengan
memikirkan kenikmatan dunia yang diberikan kepada mereka, maka engkau lebih
bodoh daripada mereka. Karena mereka hanya disibukkan dengan kenikmatan yang
mereka dapatkan, sedangkan engkau disibukkan dengan apa yang tidak engkau
dapatkan”.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Seorang salik tidak dituntut menjadi
orang yang faqir yang sama sekali tidak memiliki apa-apa. Karena ciri-ciri
seorang zuhd ada dua; yaitu saat kenikmatan dunia tidak ada dan saat kenikmatan
dunia itu ada. Ini dimaksudkan bahwa jika kenikmatan dunia itu didapat oleh
sālik, maka dia akan menghargainya dengan bershukur dan memanfaatkan nikmat
tersebut hanya karena Allah. Sebaliknya, jika nikmat sirna dari dirinya, maka
dia merasa nyaman, tenang dan tidak sedih.
Maqam Sabar Ibn ‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap
perkara haram, sabar terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan
(angan-angan) dan usaha. Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap
hak-hak manusia. Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap
kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada Allah. Segala sesuatu yang
menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga
yaitu sabar yang menuntut salik untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan
kepada-Nya. “Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. Dan
sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. Dan semua hal yang
termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah mewajibkan pula atas salik untuk
meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”. Sabar bukanlah suatu maqam
yang diperoleh melalui usaha salik sendiri. Namun, sabar adalah suatu anugerah
yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang dipilih-Nya.
Maqam sabar itu dilandasi oleh
keimanan yang sempurna terhadap kepastian dan ketentuan Allah, serta
menanggalkan segala bentuk perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Maqam Syukur Shukur dalam pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam;
pertama shukur dengan lisan, yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan
nikmat yang didapat. Kedua, shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang
diimplementasikan dalam bentuk ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu
dengan mengakui bahwa hanya Allah Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan
yang diperoleh dari manusia semata-mata dari-Nya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibn
‘Ata’illah: “Dalam shukur menurut Ibn ‘Ata’illah terdapat tiga bagian; shukur
lisan yaitu memberitakan kenikmatan (pada orang lain), shukur badan adalah
beramal dengan ketaatan kepada Allah, dan shukur hati adalah mengakui bahwa
Allah semata Sang Pemberi nikmat. Dan segala bentuk kenikmatan dari seseorang
adalah semata-mata dari Allah.”
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Ibn ‘Ata’illah juga menjelaskan bahwa bentuk shukur orang yang berilmu adalah dengan menjadikan ilmunya sebagai landasan untuk memberi petunjuk kepada manusia lainnya. Sedangkan bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan kekayaan adalah dengan menyalurkan hartanya kepada mereka yang membutuhkan. Bentuk shukur orang yang diberi kenikmatan berupa jabatan dan kekuasaan adalah dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan terhadap orang-orang yang ada dalam kekuasaannya.
Lebih lanjut Ibn ‘Aţā’illah
memaparkan bahwa shukur juga terbagi menjadi 2 bagian; shukur ẓāhir dan shukur
bāţin. Shukur ẓāhir adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya. Sedangkan shukur bāţin adalah mengakui dan meyakini bahwa segala
bentuk kenikmatan hanyalah dari Allah semata.
Manfaat dari shukur adalah
menjadikan anugerah kenikmatan yang didapat menjadi langgeng, dan semakin
bertambah. Ibn ‘Ata’illah memaparkan bahwa jika seorang salik tidak menshukuri
nikmat yang didapat, maka bersiap-siaplah untuk menerima sirnanya kenikmatan
tersebut. Dan jika dia menshukurinya, maka rasa shukurnya akan menjadi pengikat
kenikmatan tersebut. Allah berfirman: لَئِنْ
شَكَرْتُمْ لأَزِيْدَنَّكُمْ (Jika kalian bershukur [atas nikmat-Ku)
niscaya akan kutambah [kenikmatan itu]).
Jika seorang salik tidak mengetahui
sebuah nikmat yang diberikan Allah kepada-Nya, maka dia akan mengetahuinya
ketika nikmat tersebut telah hilang. Hal inilah yang telah diperingatkan oleh
Ibn ‘Ata’illah.
Lebih lanjut Ibn ‘Ata’illah
menambahkan hendaknya seorang salik selalu bershukur kepada Allah sehingga
ketika Allah memberinya suatu kenikmatan, maka dia tidak terlena dengan
kenikmatan tersebut dan menjadikan-Nya lupa kepada Sang Pemberi Nikmat.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah. Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Meskipun pada dasarnya semua kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, shukur kepada makhluk juga menjadi kewajiban seorang salik. Dia harus bershukur terhadap apa yang telah diberikan orang lain kepadanya, karena hal ini adalah suatu tuntutan shari‘at, seraya mengakui dan meyakini dalam hati bahwa segala bentuk kenikmatan tersebut adalah dari Allah. Pengejawantahan shukur tetap harus dilandasi dengan menanggalkan segala bentuk angan-angan dan keinginan. Akal adalah kenikmatan paling agung yang diberikan Allah kepada manusia. Karena akal inilah manusia menjadi berbeda dari sekalian makhluk. Namun, dengan kelebihan akal ini pula manusia memiliki potensi untuk bermaksiat kepada Allah. Dengan akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan dalam pengejawantahan shukur.
Maqam khauf Seorang salik dapat mencapai derajat maqam khauf apabila dia
merasa takut atas sirnanya ḥal dan maqamnya, karena dia tahu bahwa Allah
memiliki kepastian hukum dan kehendak yang tidak dapat dicegah. Ketika Allah
berkehendak untuk mencabut suatu maqām dan hal yang ada pada diri salik,
seketika itu juga Allah akan mencabutnya.
“Bukti dari makna ini mengharuskan
maqām khauf bagi seorang hamba terwujud, ketika dia memiliki ucapan yang baik
dan perilaku yang terpuji maka dia tak akan terputus maqām khauf ini, serta dia
tidak terpedaya dengan urusan duniawi, karena hukum kepastian dan kehendak
Allah terwujud.”
Khauf seorang sālik bukanlah sekedar
rasa takut semata. Khauf pasti diiringi dengan rajā’ (harapan) kepada Allah,
karena khauf adalah pembangkit dari rajā’. Maqām khauf adalah maqām yang
membangkitkan maqām rajā’. Rajā’ tidak akan ada jika khauf tidak ada.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya.
Ibn ‘Atā’illah menyatakan bahwa jika sālik ingin agar dibuka baginya pintu rajā’ maka hendaknya dia melihat apa yang diberikan Allah kepadanya berupa anugerah maqām, hal dan berbagai kenikmatan yang dia terima. Jika dia ingin agar terbuka baginya pintu khauf, maka hendaknya dia melihat apa yang dia berikan kepada-Nya berupa peribadatan dan ketaatan penuh pada-Nya.
Sebagaimana diutarakan oleh Ibn ‘Atā’illah:
”Jika engkau ingin agar Allah membukakan bagimu pintu rajā’, maka lihatlah
segala sesuatu yang diberikan Allah kepadamu. Dan jika engkau ingin agar Allah
membukakan bagimu pintu khauf, maka lihatlah apa yang telah kau berikan
kepada-Nya.”
Rajā’ bukan semata-mata berharap,
rajā’ harus disertai dengan perbuatan. Jika rajā’ hanya berupa harapan tanpa
perbuatan, maka tidak lain itu hanyalah sebuah angan-angan atau impian belaka.
Dengan demikian wajib bagi seorang sālik untuk menyertakan rajā’nya dengan amal
kepatuhan, dan peribadatan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah secara
kontinu.
Jika rajā’ sudah ada dalam diri
sālik, maka rajā’ ini akan semakin menguatkan khauf yang ada pada dirinya.
Karena suatu harapan, pasti akan disertai dengan rasa takut akan sesuatu,
sehingga dapat dinyatakan bahwa khauf akan melahirkan rajā’, dan rajā’ akan
menjadi penguat khauf.
Maqam Ridha dan Tawakkal Riḍa dalam pandangan Ibn ‘Ata'illah adalah penerimaan
secara total terhadap ketentuan dan kepastian Allah. Hal ini didasarkan pada
QS. al-Mā’idah ayat 119: (Allah riḍa
terhadap mereka, dan mereka ridha kepada Allah). ridha adalah anugerah yang
diberikan Allah.
Jika maqam ridha sudah ada dalam
diri sālik, maka sudah pasti maqām tawakkal juga akan terwujud. Oleh karena
itu, ada hubungan yang erat antara maqām ridha dan maqām tawakkal. Orang yang
ridha terhadap ketentuan dan kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai
penuntun dalam segala urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin
bahwa Dia akan menentukan yang terbaik bagi dirinya.
Maqām tawakkal akan membangkitkan kepercayaan yang sempurna bahwa segala sesuatu
ada dalam kekuasaan Allah. Sebagaimana termaktub dalam QS. Hūd ayat 123:
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya). Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
(…kepada-Nya lah segala urusan dikembalikan, maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya). Sebagaimana maqām-maqām lainnya, maqām ridha dan tawakkal tidak akan benar jika tanpa menanggalkan angan-angan. Ibn ‘Aţā’illah menyatakan bahwa angan-angan itu bertentangan dengan tawakkal, karena barangsiapa telah berpasrah kepada Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntunnya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya atas segala urusannya, dan jika sudah demikian tiadalah bagi dirinya segala bentuk angan-angan.
“Perencanaan (tadbīr) juga
bertentangan dengan maqam tawakkal karena seorang yang bertawakkal kepada Allah
adalah orang yang menyerahkan kendali dirinya kepada-Nya, dan berpegang teguh
kepada-Nya atas segala urusannya. Barangsiapa telah menetapi semua hal
tersebut, maka tiada lagi perencanaan baginya, dan dia berpasrah terhadap
perjalanan takdir. Peniadaan perencanaan (isqaţ tadbīr) juga terkait dengan
maqām tawakkal dan ridha, hal ini jelas, karena seorang yang ridha maka cukup
baginya perencanaan Allah atasnya. Maka bagaimana mungkin dia menjadi perencana
bersama Allah, sedangkan dia telah rela dengan perencanan-Nya. Apakah engkau
tidak tahu bahwa cahaya ridha telah membasuh hati dengan curahan
perencanan-Nya. Dengan demikian, orang yang ridha terhadap Allah telah
dianugrahkan baginya cahaya ridha atas keputusan-Nya, maka tiada lagi baginya
perencanaan bersama Allah…”
Hikmah ridha kepada qadhā’ dan
qadar, antara lain dapat menghilangkan keruwetan dan kesusahan. Musibah yang
diperoleh seseorang, jika dihadapi/dengan pikiran yang lapang dan dengan
bekerja yang sungguh-sungguh di sanalah seseorang akan mendapatkan jalan dan
petunjuk yang lebih berguna, daripada dihadapi dengan meratapi
kesusahan-kesusahan itu, yang tidak ada berkesudahan.
Maqam Mahabbah Imam al-Ghazālī berpendapat bahwa maqām maḥabbah adalah maqām
tertinggi dari sekian maqām-maqām dalam tarekat. Dia menggambarkan bahwa maḥabbah
adalah tujuan utama dari semua maqām. Namun, Ibn ‘Aţā’illah memiliki pandangan
yang berbeda tentang konsep mahabbah bahwa dalam mahabbah seorang sālik harus
menanggalkan segala angan-angannya. Dia berpendapat demikian karena alasan
bahwa sālik yang telah sampai pada mahabbah (cinta) bisa jadi dia masih
mengharapkan balasan atas cintanya kepada yang dicintainya. Dari sini tampak
bahwa rasa cinta sālik didasarkan atas kehendak dirinya untuk mendapatkan
balasan cinta sebagaimana cintanya. Karena pecinta sejati adalah orang yang
rela mengorbankan segala yang ada pada dirinya demi yang dicintainya, dan tidak
mengharapkan imbalan apapun dari yang dicintainya, yang dalam konteks ini
adalah Allah SWT. ”...mahabbah (cinta) kepada Allah adalah tujuan luhur dari
seluruh maqām, titik puncak dari seluruh derajat. Tiada lagi maqām setelah
mahabbah, karena mahabbah adalah hasil dari seluruh maqām, menjadi akibat dari
seluruh maqām, seperti rindu, senang, ridha dan lain sebagainya. Dan tiadalah
maqām sebelum mahabbah kecuali hanya menjadi permulaan dari seluruh permulaan
maqām, seperti taubat, sabar, zuhd dan lain sebagainya...”
Untuk dapat mencapai hal tersebut
diatas, maka seorang salik disyaratkan terlebih dulu mengambil baiat
(janji)pada seorang guru tarekat (Mursyid). Dimana tugas seorang guru Mursyid
adalah membimbing dan mengarahkan agar seorang salik tidak terjerumus kedalam
kesesatan. Baiat Tarekat merupakan pintu utama memasuki dunia tasawuf.
Istilah Tarekat berasal dari kata
Ath-Thariq (jalan) menuju kepada
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-
Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
Hakikat atau dengan kata lain pengalaman Syari'at, yang disebut "Al-
Jaraa" atau "Al-Amal", sehingga Asy-Syekh Muhammad Amin Al-Kurdiy mengemukakan tiga macam definisi, yang berturut-turut disebutkan:
1.
Tarekat
adalah pengamalan syari'at, melaksanakan beban ibadah
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
(dengan tekun) dan menjauhkan (diri) dari (sikap) mempermudah
(ibadah), yang sebenarnya memang tidak boleh dipermudah.
2.
Tarekat
adalah menjauhi larangan dan melakukan perintah Tuhan
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
sesuai dengan kesanggupannya; baik larangan dan perintah yang nyata, maupun yang tidak (batin).
3.
Tarekat
adalah meninggalkan yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal mubah (yang
sifatnya mengandung) fadhilat, menunaikan hal-hal yang diwajibkan dan yang
disunatkan, sesuai dengan kesanggupan (pelaksanaan) di bawah bimbingan seorang
Arif (Syekh) dari (Shufi) yang mencita-citakan suatu tujuan.
Menurut L. Massignon, yang pernah
mengadakan penelitian terhadap kehidupan Tasawuf di beberapa negara Islam,
menarik suatu kesimpulan bahwa istilah Tarekat mempunyai dua macam pengertian.
a.
Tarekat
yang diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering dilakukan oleh
orang-orang yang menempuh kehidupan Tasawuf, untuk mencapai suatu tingkatan
kerohanian yang disebut "Al-Maqamaat" dan "Al-Ahwaal".
b.
Tarekat
yang diartikan sebagai perkumpulan yang didirikan menurut ajaran yang telah
dibuat seorang Syekh yang menganut suatu aliran Tarekat tertentu. Maka dalam
perkumpulan itulah seorang Syekh mengajarkan Ilmu Tasawuf menurut aliran Tarekat
yang dianutnya, lalu diamalkan bersama dengan murid-muridnya.
Dari pengertian diatas, maka Tarekat
itu dapat dilihat dari dua sisi; yaitu amaliyah dan perkumpulan (organisasi).
Sisi amaliyah merupakan latihan kejiwaan (kerohanian); baik yang dilakukan oleh
seorang, maupun secara bersama-sama, dengan melalui aturan-aturan tertentu untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut "Al-Maqaamaat" dan
"Al-Akhwaal", yakni kedudukan dan keadaan seorang salik dalam
dunia tasawuf
Maqam Hakikat Istilah hakikat berasal
dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti
ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang didapatkan oleh Shufi
setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya
yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, Ulama Shufi sering mengalami
tiga macam tingkatan keyakinan:
1.
"Ainul
Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan
keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya;
2.
"Ilmul
Yaqiin; yaitu tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.
3.
"Haqqul
Yaqqin; yaitu suatu keyakinan yang didominasi oleh hati
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal". Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.
nurani Shufi tanpa melalui ciptaan-Nya, sehingga segala ucapan dan tingkah lakunya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal". Pengalaman batin yang sering dialami oleh Shufi, melukiskan bahwa betapa erat kaitan antara hakikat dengan mari"fat, dimana hakikat itu merupakan tujuan awal Tasawuf, sedangkan ma'rifat merupakan tujuan akhirnya.
Maqam Marifat Istilah
Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau
mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka
istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam
dalam Tasawuf. Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf; antara lain:
1.
Dr.
Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan: "Marifat
adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya
(Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."
2.
Asy-Syekh
Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib
As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah
(pada Shufi)...dalam
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."
3.
Imam
Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang
mengatakan: "Ma'rigfat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan
membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat
ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)."
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat.
Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat sampai kepada tingkatan ma'rifat.
Karena itu, Shufi yang sudah
mendapatkan ma'rifat, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan
Dzuun Nuun Al-Mishriy yang mengatakan; ada beberapa tanda yang dimiliki
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:
1.
Selalu
memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.
2.
Tidak
menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran
Tasawuf, belum tentu benar.
3.
Tidak
menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa
membawanya kepada perbuatan yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat
bahwa seorang Shufi tidak
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.
Begitu rapatnya posisi hamba dengan
Tuhan-nya ketika mencapai
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebaga berikut:
tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebaga berikut:
1.
Imam
Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.
2.
Al-Junaid
Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu
menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputus meskipun hanya sekejap mata saja.
3.
Sahal
bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui
oleh Shufi ketika menekuni
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.
Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf
yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula
mengalamikesesatan.
5.
Jelaskan yang dimaksudkan dengan penyakit hati berikut ini :
Hasad, Riya, Sum’ah, Takabbur, hubbuddunya, itba’ul hawa, ghibah, namimah,
bakhil, kasal/malas. Jelaskan solusi pencegahan pengobatannya.
a.
Hasad
Hasad dalam bahasa indonesia berarti dengki atau iri hati. Orang yang
memilki sifat hasad akan merasa sakit hati apabila melihat orang lain
memperoleh kenikmatan dari Allah. karenanya, ia akan selalu berusaha untuk
menghalang-halangi orang lain untuk mendapatkan kenikmatan atau kesuksesan hidup.
Ciri-ciri hasad adalah senang melihat orang lain susah dan susah melihat
orang lain bahagia. Seorang pendengki itu selalu mencari kejelekan dan berusaha
menghancurkan seseorang yang didengki supaya tidak mendapatkan kesuksesan,
kebahagian, atau pujian dari orang lain.
Sedangkakan cara menghilangkan hasad, antara
lain:
1)
Rajin mendengarkan nasihat agama.
2)
Rajin mendatangi majelis-majelis ilmu,
terutama pengajian.
3)
Memperbanyak bergaul dengan orang shaleh.
4)
Melatih diri untuk dapat menerima kenyataan
hidup yang dialami.
Bahaya hasad:
1)
Menghapus kesan kebaikan
2)
Merusak tali ukhuwah
3)
Membawa sikap takabbur
Tidak puas akan nikmat dan selalu membandingkan keatas.
b.
Riya
Riya adalah memamerkan dan menampakkan sesuatu yang ada pada dirinya,
dengan tujuan supaya mendapat pujian atau sanjungan dari orang lain. Riya’
termasuk syirik yakni perbuatan menyekutukan Allah dengan sesuatu lainnya.
Rasulullah SAW bersabda:
“ sesungguhnya
yang paling aku takuti atas kamu sekalian adalah syirik kecil. Sahabat
bertanya, “apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” Rasulullah bersabda,
“syirik yang paling aku takuti itu adalah riya’.”
Riya’ berdasarkan bentuknya ada 2, yaitu:
1)
Riya’ dalam niat
2)
Riya’ dalam perbuatan
Ciri-ciri perbuatan riya’:
1)
Niat bukan karena Allah,
2)
Tidak ikhlas,
3)
Mengada-ada,
4)
Pilih kasih,
5)
Ingin dipuji,
6)
Mengharap imbalan.
Cara menjauhi perilaku riya’:
1)
Sebaiknya seluruh amal yang kita lakukan
diserahkan kepada Allah.
2)
Biasakan diri beramal atau beribadah tanpa
diketahui orang lain.
3)
Muhasabah diri atau interpeksi diri.
4)
Berusaha untuk melawan bisikan setan untuk
berbuat riya’ saat mebgerjakan suatu ibadah.
5)
Menghilangkan sebab-sebab riya’.
6)
Selalu berdoa dan memohon Allah agar hati
lurus dan ikhlas dalam beribadah dan terhindar dari perbuatan riya’.
Bahaya perilaku riya’:
1)
Menghapus pahala amal.
2)
Riya’ lebih berbahay daripada fitnah dajjal.
3)
Riya’ meskipun syirik kecil tetapi dosanya
lebih besar dari pada syirik, sehingga pelakunya dimasukkan kedalam neraka
terlebih dahulu.
c.
Sum’ah
Sum’ah berasal dari kata samma’a yang artinya memperdengarkan. Secara
terminologi artinya sikap seorang muslim yang membicarakan atau memberitahukan
amal shalihnya yang sebelumnya tidak diketahui atau tersembunyinya kepada
manusia agar dirinya mendapatkan kedudukan atau penghargaan dari mereka, atau
mengharapkan keuntungan dari materi.
Dampak sum’ah:
1)
Terhalang dari hidayah serta taufiq dari
Allah.
2)
Batal amalnya
3)
Mendapatkan azab di akhirat.
4)
Aibnya akan terbuka di dunia maupun akhirat.
5)
Menderita kesempitan dan kegelisahan.
6)
Tercabutnya kewibawaan.
7)
Tidak tekun dalam beramal.
Cara mengobatinnya:
1)
Senantiasa ingat akibat dari sum’ah.
2)
Menjauhi teman yang memilki sifat sum’ah.
3)
Mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.
4)
Melatih dan mendidik diri.
5)
Bersikap lembut kepada orang lain.
6)
Selalu berpegang pada etika islam.
7)
Membaca kisah orang yang riya’
8)
Menambah pengetahuan tentang keikhlasan.
9)
Muhasabah diri
10)
Memohon perlindungan dari Allah.
d.
Takabur (sombong) dan Cara Mengobatinya
Takabur (arogan/sombong)
adalah penyakit hati yang sangat dibenci Allah. Orang yang takabur, hakikatnya
tidak tahu diri dan tidak tahu malu. Ia mengaku-ngaku sesuatu yang bukan
miliknya. Takabur itu bagaikan bagaikan bau busuk yang sulit sekali
disembunyikan. Orang yang mengidap penyakit ini sangat mudah dilihat oleh orang
awam sekali pun, serta mudah dirasakan hati siapa pun. Apa ciri orang takabur
itu? Rasulullah SAW bersabda, "Kesombongan adalah mendustakan kebenaran
dan merendahkan orang lain." (HR Muslim)
1.
Mendustakan Kebenaran Orang takabur pada umumnya hidupnya jauh dari
agama. Ia memiliki kebenaran versinya sendiri, sehingga tidak menyukai
orang-orang lain yang berbeda dengan dirinya. Tidak mau dan tidak menyempatkan
belajar tentang kebenaran. Orang takabur apabila ia punya kekuasaan, maka
kekuasaan itu akan dipakai menumpas kebenaran.
2.
Merendahkan Orang Lain Orang takabur pada umumnya ingin selalu
kelihatan lebih tinggi, ingin selalu diistimewakan. Ia akan tersinggung bila
disamakan dengan orang yang levelnya dianggap lebih rendah. Suka mendominasi
pembicaraan, senang memotong perkataan orang lain, nadanya pun cenderung lebih
keras dan merendahkan yang mendengar. Ia pun selalu ingin menang sendiri saat
bicara.
Orang takabur kurang suka
mendengarkan orang lain. Bila orang lain berbicara dan pembicaranya dianggap
lebih rendah levelnya, dia tak akan mau memperhatikan. Ada saja yang
dilakukannya: ngobrol, menelpon, atau lainya. Akibatnya, orang yang bicara
merasa direndahkan.
Orang takabur, kalau ia
menyuruh, maka yang disuruh akan sakit hati. Cara duduk, berdiri, dan menunjuk
pun cenderung tidak menghormati orang lain
Tabiat lain dari orang takabur
adalah mudah marah dan kasar. Sering menghina, mencaci maki. Jarang sekali mau
memuji dan mengakui kelebihan orang lain. Jarang berterima kasih. Tidak mau
meminta maaf. Pantang menerima kritik dan saran. Tidak suka bermusyawarah.
Tidak mau mengakui kesalahan atau kekurangan. Sering dengki pada yang lain.
Orang takabur suka mencibir
harkat dan martabat orang lain, kagum pada diri sendiri (i'jabul mari bin
nafsihi), dan kemudian berkembang menjadi sifat egois chauvinistic yang
berakibat putusnya tali persaudaraan, tumbuhnya permusuhan antar suku,
golongan, bahkan bangsa.
Itulah sebabnya Allah
memperingatkan keras agar kita tidak mencemooh satu kaum, karena siapa tahu
yang kita cemooh justru lebih baik dari kita (49:11).
Sifat takabur ini bukan hanya
dimiliki oleh orang kebanyakan seperti kita, tapi juga terutama oleh Pejabat,
Ilmuwan dan Ulama. Banyak diantara mereka yang hanya memandang bahwa dirinyalah
yang paling benar, yang lain salah. Sering kita dengar atau baca tulisan,
dimana seorang Ulama mengkritik habis2an pandangan Ulama lain, dan menganggap
bahwa yang lain salah, kecuali dirinya dan Ulama2 yang se-aliran atau menjadi
rujukannya.
Sifat Takabur merupakan sikap
yang sangat tercela, bahkan menurut Imam Ali kw dalam Najhul Balaghah, iblis
pada awalnya merupakan makhluk yang paling gemar beribadah, tetapi kemudian
menjadi hina dan terlempar ke dasar neraka jahanam karena menolak perintah
Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam as. Alih-alih bersujud, iblis malahan
membusungkan dada, seraya berkata, "Aku lebih baik dari dia, aku
diciptakan dari api sedangkan Adam dari tanah." (Q.S. 7:12).
Kiat dan cara mengobatinya
ternyata sangat sederhana, Sayidina Ali kw mengajarkan kepada kita, "Kalau
kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam hatimu: Pasti
dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih
tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari amalku."
e.
Hub. Al-Dunya
Sejalan dengan pendapat KH.
Ahmad Rifa'i, al-Ghazali mengatakan bahwa segala sesuatu yang memberikan
keuntungan, bagian, tujuan, nafsu syahwat, dan kelezatan kepada manusia yang
diperoleh langsung sebelum mati disebut dunia.
Selanjutnya al-Ghazali
menjelaskan lebih rinci tentang pengertian dunia sebagai berikut:
1.
Sesuatu yang menemani manusia di akhirat dan pahalanya kekal bersamanya
sesudah mati, yakni ilmu dan amal, ini tidak tergolong dunia melainkan akhirat.
Adapun ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu tentang Allah, sifat-sifatNya,
af'alNya, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, alam malakut
bumi dan langitNya, serta ilmu yang disyari'atkan oleh nabiNya. Sedangkan amal
yang dimaksud di sini adalah amal ibadah yang ikhlas karena Allah semata
2.
Segala sesuatu yang memberikan keuntungan dan kelezatan kepada manusia yang
langsung diperoleh di dunia akan tetapi tidak memberikan pahala baginya di
akhirat, seperti kelezatan yang diperolehnya dengan melakukan segala macam
perbuatan maksiat dan bersenang-senang dengan hal-hal yang mubah akan tetapi melewati kadar
kebutuhan, maka hal ini tergolong dunia yang tercela.
3.
Segala sesuatu yang memberikan keuntungan kepada manusia dan langsung
diperoleh di dunia untuk menolong kepada amal perbuatan akhirat, seperti
sekedar makanan, pakaian sederhana, dan lain sebagainya yang merupakan sarana
pokok demi kelangsungan hidup manusia dan kesehatannya agar dapat menghantarkan
kepada ilmu dan amal, maka hal ini tergolong akhirat karena makanan, pakaian,
dan kebutuhan pokok tersebut digunakan sebagai sarana untuk menolong amal
perbuatan akhirat. Namun demikian, jika faktor yang mendorongnya hanya sekedar
memperoleh keuntungan langsung di dunia, tidak dijadikan sebagai sarana untuk
taqwa kepada Allah, maka hal ini bukan tergolong akhirat melainkan tergolong
dunia.
Memperhatikan uraian di atas,
maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan dunia ialah segala sesuatu yang
tidak dijadikan sarana untuk takwa kepada Allah dan tidak membawa manfaat di
akhirat.
Seseorang yang mencintai dunia akan mengakibatkan dirinya banyak melakukan kesalahan dan berbuat dosa
seperti berbuat maksiat, keji, dan munkar, karena ia melupakan Allah SWT.
Sebagaimana Rasulullah SAW menjelaskan:
"Cinta terhadap dunia merupakan pangkal setiap kesalahan". Dijelaskan juga
dalam al-Qur'an: "Dan celakalah bagi orang-orang kafir karena mendapat
siksaan yang sangat pedih, yaitu orang-orang yang lebih menyukai kehidupan
dunia dari pada kehidupan akhirat".
Dengan demikian setiap orang
mukmin harus senantiasa beramal demi memperoleh kebahagiaan hidup di akhirat
jangan tergiur dan terpukau oleh kemewahan dunia, seperti kekayaan, pangkat,
kesenangan, dan kenikmatan, kecuali sekedar hajat yang diperlukan untuk
menolong beribadah kepada Allah. Disamping itu, hati seorang mukmin tidak boleh
bergantung kepada kemewahan dunia karena hal tersebut dapat melupakan Allah dan
melalaikan kebahagiaan hidup di akhirat. Berkaitan hal ini K.H Ahmad Rifa'i
mengatakan : Wajib berpaling dari dunia maksiat sunat berpaling dari dunia
halal juga sunat meninggalkan (dunia) makruh sunat mengambil dunia halal yang
dijadikan pertolongan untuk melakukan kebijakan yang bermanfaat di akhirat
wajib mengambil dunia yang diperlukan yang halal jika tentu menolong taat
terhadap kewajiban kemudian hasilnya mengangkat derajad.
Bait nazam di atas
menjelaskan tentang ketentuan hukum mengambil atau meninggalkan dunia sebagai
berikut :
a.
Berpaling dari dunia maksiat, hukumnya wajib.
b.
Berpaling dari dunia halal, hukumnya sunat.
c.
Meninggalkan dunia makruh, hukumnya juga sunat.
d.
Mengambil dunia
halal yang digunakan untuk menolong berbuat kebajikan yang bermanfaat di
akhirat, hukumnya juga sunat.
e.
Mengambil dunia
halal sekedar hajat jika benar-benar digunakan untuk menolong berbuat taat
melaksanakan kewajiban demi mengangkat derajad keimanan, hukumnya wajib.
Pendapat K.H. Ahmad Rifa'i di
atas sesuai dengan pandangan sebagian ulama shufi bahwa dunia itu tak
perlu dibenci secara berlebihan karena dunia merupakan anugrah Allah yang perlu
diterima, dinikmati, dan disyukuri, bukan harus diingkari. Berkaitan dengan hal
ini Rasulullah SAW. Bersabda :
الدنيا مزرعة للأخرة
Artinya : Dunia
adalah kebun bagi akhirat.
f.
Itba’ Al-Hawa.
Oleh karena itu,
hawa nafsu harus dikekang dan diperangi agar manusia dapat meninggalkan
perbuatan-perbuatan maksiat yang melanggar hukum syara'. Karena hawa
nafsu merupakan pangkal dari perbuatan maksiat. Seperti dikatakan oleh Muhammad
bin Ibrahim :
أصل كل الشرر ضا ؤك عن نفسك مأوى الضر
Artinya : Setiap perbuatan
jahat itu berasal dari kerelaanmu terhadap keinginan nafsumu untuk menjadi
tempat penderitaan.
g.
Definisi Ghibah
Definisi ghibah dapat kita lihat dalam hadits
Rasulullah e berikut ini: “Ghibah ialah engkau menceritakan saudaramu tentang
sesuatu yang ia benci.” Si penanya kembali bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah
pendapatmu bila apa yang diceritakan itu benar ada padanya ?” Rasulullah e
menjawab, “kalau memang benar ada padanya, itu ghibah namanya. Jika tidak
benar, bererti engkau telah berbuat buhtan (mengada-ada).” (HR. Muslim,
Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Berdasarkan hadits di atas
telah jelas bahawa definisi ghibah iaitu menceritakan tentang diri saudara kita
sesuatu yang ia benci meskipun hal itu benar. Ini bererti kita menceritakan dan
menyebarluaskan keburukan dan aib saudara kita kepada orang lain. Allah sangat
membenci perbuatan ini dan mengibaratkan pelaku ghibah seperti seseorang yang
memakan bangkai saudaranya sendiri. Allah S.w.t berfirman:
” Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 12
Cara mengatasi dan
mengobatinya yaitu dengan banyak mmbaca istighfar, semenghidari
perkumpulan-perkumpulan yang nantinya akan menimbulkan ghibah, jika ada yang
sedang berghibah diingatkan kalau iu tidak baik, kalau tidak berani maka
pergilah dan doakan agar berhenti berghibah.
h.
Pengertian Namimah
Namimah artinya adu domba
yaitu usaha untuk membuat orang lain saling bermusuhan. Umpanya
pembicaraan si A disampaikan kepada si B yang pernah diperkatakan si A dengan
tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara si A dan si B dan mengotori
kejernihan pergaulan atau menambah keruhnya pergaulan. Sikap namimah sangat
dibenci Islam, karena dapat membuat persatuan umat menjadi pecah sehingga dapat
melumpuhkan (melemahkan) kekuatan umat Islam.
Firman Allah :
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَهِينٍ , هَمَّازٍ
مَشَّاءٍ بِنَمِيمٍ (القلم: 10-11)
Artinya :
Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang
banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur
fitnah. (Q.S. Al Qalam [68] : 10-11)
Orang yang mempunyai sifat namimah tidak akan
masuk surga seperti dadijelaskan dalam hadis Nabi SAW :
عَنْ حُذَ يْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لاَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ
نَمَامٌ (اخرجه الشيخان)
Artinya :
Diriwayatkan dari Hudzaifah dia berkata:
Rasulullah SAW pernah bersabda: "tidak akan masuk surga orang yang suka adu
domba". (H.R. Bukhari dan Muslim)
Dalam sabda lainnya, Rasulullah telah bersabda,
yang artinya :
“Yang amat dicintai Allah Swt. ialah yang
terbaik akhlaknya, yang dermawan lagi gemar menjamu orang, yang dapat
menyesuaikan diri lagi dapat diikuti penyesuaian dirinya itu, sedang yang amat
dibenci di sisi Allah ialah orang-orang yang suka berjalan dengan berbuat adu
domba, yang memecah belah antara saudara-saudara, lagi pula mencari-cari alasan
untuk melepaskan diri dari kesalahan-kesalahan”. (H.R. Ahmad)
Cara
Menghindari Perilaku Namimah
1.
Menyadari tentang bahayanya sifat namimah
2.
Menyadari bahwa namimah adalah perbuatan dosa
3.
Selalu meneliti kebenaran informasi yang
didengarnya
4.
Menyadari bahwa diri kita juga tidak suka apabila
diadu domba dengan orang lain
Dalam kehidupan terdapat orang
yang memiliki sifat namimah maka akan mudah terjadi pertengkaran dan
ketenteraman dalam kehidupan masyarakat tidak akan bisa tercapai. Maka dari itu
sifat namimah harus selalu dijauhi oleh semua orang supaya ketenteraman dalam
kehidupan dapat dirasakannya.
i. Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias Pelit
alias Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga
tidak mau bersedekah.
“Sekali-kali janganlah orang-orang yang
bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka,
bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk
bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya
di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan
di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal segala harta kita
termasuk diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya
apa-apa. Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa
kecuali beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang kita
simpan itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada gunanya
bagi kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup
bermegah-megahan seperti beli mobil dan rumah mewah.
“Dan adapun orang-orang
yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka
kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak
bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang
bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di
jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya
adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
“Berlomba-lombalah kamu
kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit
dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
k. malas.
Malas adalah
kondisi diri yang tidak bergairah dalam menjalankan sesuatu. Rasa malas adalah
penyakit paling mengerikan yang dapat menghambat kesuksesan seseorang.
Cara
mengatasi dan mengobati malas :
1. Menata Hidup
2. Kerjakan Hal Yang Sulit Dipagi Hari
3.
Hilangkan Kebiasaan Duduk di Sofa atau Berbaring di Tempat Tidur
sebelum
4.
Berikan Motivasi Pada Diri Sendiri
5.
Pede Untuk Menghadiahi Diri Sendiri
6.
Olahraga rutin
Cara
Menghilangkan Rasa Malas Sholat:
1. Tanamkan Niat, Segala sesuatu dapat terjadi karena didasari dengan, baik perbuatan positif ataupun negatif. Saat Anda hendak menjalankan ibadah wajib yang harus dikerjakan oleh umat islam, niatkan dalam hati bahwa Anda ingin mendapatkan pahala, dan pikirkan juga bahwa meninggalkan sholat itu dosa besar dimana ganjarannya adalah api neraka yang sangat panas
2. Imbangi Dengan Kebiasaan, "Seseorang menjadi bisa karena terbiasa", pepatah tersebut sangat tepat untuk mewakili faktor keberhasilan seseorang. Jika Anda pria, biasakan untuk sholat di masjid atau musholla dekat rumah, lama kelamaan aktivitas ini akan tertanam kuat didalam hati sehingga menjadi kebiasaan yang sangat sulit ditinggalkan.
3. Jangan Menunda Waktu Sholat, Jangan bilang nanti ketika mendengar seruan Allah. Walau Anda sedang mengerjakan pekerjaan yang statusnya sulit, hentikan beberapa saat untuk menyembah Allah. Ketika sholat hati dan pikiran menjadi lebih tenang, disamping itu tanpa disadari pekerjaan Anda akan cepat terselesaikan karena muncul berbagai inspirasi setelah Anda mengerjakan sholat.
6. Tulislah
Sayyidul Istighfar, jelaskan makna dari sayyidul Istighfar.
اَللَّهُمَّ
أَنْتَ رَبِّي, لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِي, وَأَنَا عَبْدُكَ, وَأَنَا
عَلَى عَهْدِكَ
وَوَعْدِكَ
مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ
بِنِعْمَتِكَ
عَلَيَّ,
وَأَبُوءُ بِذَنْبِي, فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ اَلذُّنُوبَ إِلَّا
أَنْتَ
Allahumma Anta Rabbii Laa Ilaaha Illaa Anta
Khalaqtnii Wa Anna ‘Abduka Wa Anaa ‘Alaa ‘Ahdika Wa Wa’dika. Mastatha’tu
a’uudzu Bika Min Syarri Maa Shana’tu Abuu u Laka Bini’ Matika ‘Alayya Wa
Abuu-uBidzanbii Faghfir Lii Fa Innahu Laa Yagfirudz Dzunuuba Illa Anta
Artinya :”Ya Allah Engkau adalah Tuhanku,
Tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau, Engkau yang menciptakanku
sedang aku adalah hamba-Mu dan aku diatas ikatan janji -Mu (yaitu selalu
menjalankan perjanjian-Mu untuk beriman dan ikhlas dalam menjalankan amal
ketaatan kepada-Mu) dengan semampuku, aku berlindung kepadamu dari segala
kejahatan yang telah aku perbuat, aku mengakui-Mu atas nikmat-Mu terhadap
diriku dan aku mengakui dosaku pada-Mu, maka ampunilah aku, sesungguhnya tiada
yang boleh mengampuni segala dosa kecuali Engkau”.
Keutamaan
sayyidul istighfar terdapat dalam hadist yang berbunyi : “Barangsiapa
mengucapkannya di siang hari dalam keadaan yakin dengannya kemudian dia mati
pada hari itu sebelum petang hari, maka dia termasuk penduduk syurga dan siapa
yang mengucapkannya di waktu malam hari dalam keadaan dia yakin dengannya,
kemudian dia mati sebelum shubuh maka dia termasuk penduduk syurga.”
Hadits
ini shahih. Diriwayatkan oleh:
1.
Imam al-Bukhari dalam shahîhnya (no. 6306,
6323) dan al-Adabul Mufrad (no. 617, 620)
2.
Imam an-Nasâ-i (VIII/279), as-Sunanul Kubra
(no. 9763, 10225), dan dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (no. 19, 468, dan 587)
3.
Imam Ibnu Hibbân (no. 928-929-at-Ta’lîqâtul Hisân
‘ala Shahih Ibni Hibbân)
4.
Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jamul Kabîr (no.
7172), al-Mu’jamul Ausath (no. 1018), dan dalam kitab ad-Du’aa (no.
312-313)al-Hâkim (II/458)
5.
Imam Ahmad dalam musnadnya (IV/122, 124-125)
6.
Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no.
1308), dan lainnya dari Shahabat Syaddad bin Aus Radhiyallahu anhu
Namun harus kita ingat dalam Islam,
makna Istighfar tidak terletak pada pengucapannya, namun pada seberapa dalam
seseorang yang beristighfar memaknai dan menghayati apa yang ia ucapkan, dalam
konteks yang lebih jauh lagi, agar ia terus mengingat Tuhan di saat ia tergoda
untuk melakukan perbuatan dosa, dan apabila telah melakukan dosa, maka
istighfar adalah titik baginya untuk bertekad tidak mengulangi perbuatannya.
7. Jelaskan
perbedaan guru lulusan Pendidikan Saintek dari UIN dengan Perguruan Tinggi Umum.
Perbedaan guru lulusan Pendidikan Saintek dari UIN dengan Perguruan Tinggi Umum yaitu lako
lulusan Saintek dari UIN itu memiliki bekal pengetahuan agama seperti tauhid,
akhlak/tasawuf,fiqih dll. Sehingga memiliki perilaku yang baik serta memiliki
pengetahuan agama serta pengetahuan ilmu umum .
sangt membantu,,
BalasHapusterima kasih
BalasHapus